
Jurnal NYCNews | Ruslim Liong
Jagkarsa, NYCNews.id — Di balik rimbunnya pepohonan dan deretan rumah di Jalan Warung Silah I, Kelurahan Cipedak, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, tersembunyi kisah pelik sengketa tanah yang menyeret nama-nama besar dan lembaga negara. Di tengah proses hukum yang berjalan lebih dari empat tahun, muncul kejanggalan demi kejanggalan yang mencuat ke permukaan—mulai dari ketidakhadiran tergugat, hingga putusan yang dianggap melawan logika keadilan.
Kuasa hukum Armina Scherazade, Novi Andra, SHI., M.I.K., menyebut kasus ini sebagai bentuk nyata “pembajakan keadilan”. Kliennya, pemilik sah atas lahan seluas 523 meter persegi berdasarkan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 04882/Cipedak, tiba-tiba digugat oleh seseorang bernama Kaharuddin Latief. Anehnya, sosok ini tidak pernah sekali pun menghadiri persidangan.
“Tanpa Wajah, Tapi Menang”
“Bayangkan, tergugat tidak pernah hadir, tidak ada kejelasan identitas, tidak pernah menunjukkan batas tanah, tapi menang di semua tingkat pengadilan,” ujar Novi Andra saat ditemui di kantornya di bilangan Jakarta Selatan.
Kaharuddin mengklaim sebagai pemilik sah atas lahan seluas 4.443 meter persegi, yang menurutnya mencakup lahan milik Armina. Namun hingga kini, ia tak pernah bisa menunjukkan letak persis tanah yang dimaksud, bahkan batas-batasnya pun tidak pernah ditunjukkan kepada pengadilan.
Dalam sidang mediasi, ketidakhadirannya dianggap tidak menjadi masalah oleh hakim. Hal ini bertentangan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 2002 yang mewajibkan kehadiran pihak dalam proses mediasi sebagai bagian dari penyelesaian damai.
“Kalau pihak yang menggugat tidak datang, tapi hakim tetap lanjut dan putusannya memenangkan pihak itu, lalu apa gunanya proses hukum?” tanya Novi.
Dua Lokasi, Dua Girik, Dua Persil — Tapi Disebut Bertumpang Tindih
Salah satu inti perdebatan adalah lokasi tanah yang disengketakan. Menurut data resmi, tanah Armina berada di RT 002/RW 004 Kelurahan Cipedak, dengan dasar hukum Girik C No. 1131 Persil No. 172 Blok S.II. Sedangkan Kaharuddin mengklaim tanah berdasarkan Girik C.7 Persil 191 di Kelurahan Ciganjur.
Data dari Peta Desa No. 15 menunjukkan bahwa kedua persil tersebut bahkan berada di lokasi berbeda secara geografis—Persil 172 berada di Batu Belah, sementara Persil 191 di Rawa Badak.
“Ini seperti menyebut tanah di Bandung dan Bekasi sebagai tumpang tindih. Tidak masuk akal. Ini murni rekayasa,” tambah Novi.
Lebih parah lagi, dalam putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 195/PDT/2023/PT.DKI, majelis hakim bahkan mengakui ada keraguan dalam memutus perkara. Namun, alih-alih menolak gugatan rekonvensi Kaharuddin, mereka tetap menguatkan putusan sebelumnya yang memenangkan pihak penggugat.
“Putusan itu mengabaikan prinsip dasar hukum: judex debet judicare secundum allegata et probata—hakim harus mengadili berdasarkan bukti dan fakta,” kata Novi sambil menunjukkan salinan putusan.
Masyarakat Setempat Pun Angkat Suara
Di lokasi sengketa, warga sekitar mengenal tanah tersebut sebagai milik Armina. “Sudah dari dulu ibu Armina yang punya. Kami tahu karena waktu beli pun dari ibu Maryanti, orang sini juga,” ujar ketua RT setempat yang enggan disebutkan namanya.
Maryanti, pemilik awal tanah yang menjual kepada Armina Scherazade, juga turut digugat sebagai Turut Tergugat II. Sedangkan Badan Pertanahan Nasional Jakarta Selatan, sebagai penerbit SHM, menjadi Turut Tergugat I.
Namun tak satu pun dari mereka membenarkan adanya klaim dari Kaharuddin. Bahkan, menurut Novi, keberadaan Kaharuddin sendiri patut dipertanyakan. “Dia fiktif? Atau ada aktor besar di balik nama itu?” ujarnya curiga.
Potret Sistem yang Rapuh: Ketika Mafia Tanah Menyusup Lewat Celah Hukum
Kasus ini menjadi gambaran bagaimana praktik mafia tanah bekerja: memanfaatkan dokumen lama, memanipulasi administrasi, dan masuk ke sistem peradilan. Ketika sertifikat resmi tak lagi cukup menjadi bukti kepemilikan karena bisa digugurkan oleh surat-surat lama tanpa kejelasan lokasi, maka siapa pun bisa menjadi korban.
Indonesia memang tak asing dengan praktik mafia tanah. Presiden Joko Widodo bahkan pernah menginstruksikan pembentukan Satgas Anti Mafia Tanah. Namun sejauh mana efektivitasnya ketika pengadilan pun dianggap ikut melanggengkan ketidakadilan?
“Ini bukan sekadar sengketa perdata. Ini sinyal bahwa ada yang rusak dalam sistem hukum kita. Armina Scherazade hanyalah satu dari sekian banyak korban yang bisa kehilangan hak sahnya karena permainan mafia tanah,” kata Novi.
Kini, Armina tengah mengajukan kasasi ulang dengan membawa bukti-bukti tambahan dan berharap Mahkamah Agung bisa memutus secara objektif. Namun, di luar gedung pengadilan, kepercayaan terhadap sistem hukum sedang dipertaruhkan







