Jurnal NYCNews | Apakah Jokowi Serius Minta Setop Wacana Perpanjang Masa Jabatan?
Jakarta, NYCNews.id – Tak ada amarah saat Presiden Jokowi berpidato selama 10 menit di Istana Kepresidenan, Selasa (5/4). Namun pidatonya sarat berisi sentilan dan peringatan kepada para pembantunya.
Jokowi mengkritik buruknya komunikasi kenaikan harga dari para pembantunya. Dia juga menyoroti kelangkaan barang-barang kebutuhan pokok.
Mantan Wali Kota Solo ini kemudian menutup pidatonya dengan perintah tegas: menyudahi wacana penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden.
Sejumlah menteri yang duduk berjejer menghadap presiden sibuk mencatat di buku kecil setiap arahan Jokowi.
“Jangan sampai ada lagi yang menyuarakan mengenai penundaan, perpanjangan,” kata Jokowi.
Pengamat politik dari KedaiKOPI, Hendri Satrio, menangkap kesan keseriusan Jokowi ketika memerintahkan para menteri berhenti bicara perpanjangan masa jabatan presiden.
“Kalau dari mimiknya saat menyampaikan arahan di sidang kabinet menurut saya adalah mimik paling serius yang ditunjukkan. Unsur dramanya itu kecil lah,” kata Hendri saat dihubungi NYCNews.id, Rabu (6/4).
Namun keseriusan itu tak menjamin wacana dan pergerakan mendorong perpanjangan masa jabatan presiden berhenti bergulir.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menuturkan yang mesti disoroti adalah apakah perintah Jokowi bakal dipatuhi para pembantunya.
Untuk melihat hal ini, kata Arya, tak boleh berpegang pada pernyataan menteri. Hal lebih penting mesti diperhatikan.
Pertama, apakah setelah pernyataan Jokowi, mobilisasi dukungan terhadap penundaan pemilu dan perpanjangan jabatan akan mereda atau tidak.
Kedua, apakah lobi-lobi atau upaya yang dilakukan partai politik terkait isu ini berhenti atau justru terus berlanjut.
Terakhir, kata Arya, juga mesti dilihat apakah pernyataan Jokowi itu justru memunculkan sebuah isu baru. Misalnya soal wacana amandemen UUD 1945.
“Jadi kita belum tahu apakah ini hanya cara untuk mengerem doang atau apa belum bisa diketahui, mesti dilihat dalam 3 indikator,” ucap Arya.
Arya berkata, gejolak di masyarakat akibat wacana perpanjangan masa jabatan atau penundaan pemilu adalah satu faktor yang mendorong keluarnya perintah Jokowi.
Ia menangkap psikologi penolakan publik terasa cukup besar. Di sisi lain, Hendri mengingatkan ada kemungkinan perintah Jokowi bertujuan hanya untuk meredam gejolak publik.
Hendri juga mengingatkan bisa saja pernyataan Jokowi diartikan secara berbeda oleh para menterinya.
“Diartikan jangan bikin gaduh, jadi ngomongnya jangan kenceng-kenceng, kalau pelan-pelan boleh,” kata dia.
Atau, bisa saja pernyataan Jokowi diartikan sebatas berhenti berbicara. Yang artinya, opsi lain mewujudkan perpanjangan masa jabatan, bisa tetap dilakukan dengan cara mendorong terus proses amandemen UUD 1945.
Segala kemungkinan dan kekhawatiran itu dianggap wajar oleh Hendri. Sebab Jokowi, bagaimanapun, seorang politikus. Hendri pun meminta masyarakat tidak terbuai hanya lewat ucapan saja.
Kewaspadaan, kata Hendri, diperlukan lantaran yang dihadapi bukanlah sembarang pihak. Masyarakat saat ini berhadapan dengan para politisi yang memiliki kekuasaan untuk membuat berbagai kebijakan.
“Kita memang harus mengajak masyarakat untuk percaya kepada presiden Jokowi, tapi juga harus tetap waspada karena yang kita hadapi para politisi,” tuturnya.
Untuk membuktikan keseriusan perintah Jokowi, menurut Hendri yang mesti ditunggu adalah langkah selanjutnya dari Jokowi.
“Minimal ada yang dilakukan selain cuma pidato di sidang kabinet, walaupun itu (pidato) sangat meyakinkan,” ucap Hendri.